Vol.1 Ch.1 Penyihir Bermata Merah

BAGIAN PERTAMA

—Situasi pagi ini sama seperti biasanya.

Wali kelas kami memegang buku daftar murid di salah satu tangannya sambil mengabsen kami.

“Bapak akan mulai mengabsen. Arue! Kaikai! Sakiberi!”

Murid yang dipanggil oleh guru lekas menjawab.

Mereka semua perempuan.

Kelas perempuan dan laki-laki di sekolah ini terpisah.

Hanya ada 11 murid di kelas ini, sehingga namaku cepat terpanggil.

“Megumin!”

“Hadir.”

Setelah mendengar jawabanku, wali kelas kami mengangguk dengan wajah puas.

“Bagus, semuanya hadir. Kalau begitu…”

“Pa-pak guru!”

Murid yang ada di sampingku mengangkat tangannya, tepat sebelum guru itu menutup buku daftar nama murid. Dia sudah hampir menangis.

“Namaku masih belum dipanggil…”

“Eh? Oh, maaf! Hanya ada satu nama lagi di halaman selanjutnya. Maaf, maaf! Kalau begitu… Yunyun!”

“Hadir!”

Yunyun yang rambutnya ia ikat dengan pita, menjawab saat namanya dipanggil. Dia bisa saja marah karena dilupakan dalam absensi, tetapi dia justru bersikap malu dengan wajah memerah semu.

—Ini adalah sebuah sekolah kecil yang ada di Desa Klan Iblis Merah.

Saat mereka sudah cukup umur, semua anak di desa akan mulai belajar hal-hal dasar di sekolah ini. Pada umur 12 tahun, mereka akan mulai mendapatkan job tingkat atas yang dikenal dengan nama ‘Arch Wizard’ dan mulai mempelajari sihir.

Sejak lahir, Klan Iblis Merah sudah diberkati dengan kecerdasan dan mana yang besar. Biasanya, mereka akan tetap bersekolah hingga mereka bisa menguasai ilmu sihir.

Di sini, jika kami telah menguasai ilmu sihir berarti kamitelah lulus.

Dengan kata lain, semua murid yang ada di sini masih belum tahu banyak hal tentang ilmu sihir.

Murid-murid di sini mengumpulkan skill point setiap harinya supaya mereka bisa menguasai tipe sihir yang mereka inginkan.

Setiap sihir memerlukan jumlah skill point yang berbeda.

Semakin kuat sihir itu, semakin banyak skill point yang diperlukan.

Lagipula, tipe sihir yang murid-murid di sini ingin pelajari pastilah—

Sihir Tingkat Lanjut

Inilah yang semua penyihir inginkan, kemampuan untuk bisa menggunakan segala macam sihir yang memiliki kekuatan besar.

Di Desa Klan Iblis Merah, menguasai sihir tingkat lanjut adalah satu-satunya cara agar kami bisa diakui sebagai seorang penyihir…

“Sekarang, bapak akan mengumumkan hasil tes kalian. Seperti biasa, tiga murid teratas akan menerima ramuan penambah skill point. Bapak mulai dari peringkat ketiga! Arue!”

Dari samping pandanganku, aku bisa melihat salah seorang murid yang maju ke depan dengan malasnya untuk mengambil ramuan itu. Tanpa memerdulikannya, aku pun berbalik memandang ke arah jendela, melamun tanpa memikirkan apapun.

“Peringkat kedua, Yunyun! Sebagai putri kepala desa, kamu memang hebat! Rajinlah terus dalam belajarmu!”

“Ah, ba-baik!”

Aku melirik ke sampingku, melihat Yunyun berdiri dengan wajah malu.

Selain membunuh monster untuk mendapatkan experience point dan meningkatkan level, skill point hanya bisa didapat dengan meminum ramuan penambah skill point yang langka.

Karena itulah semua murid di sini bersaing untuk bisa mendapatkan ramuan itu supaya bisa mempelajari sihir tingkat lanjut secepat mungkin.

“Dan yang terakhir, peringkat pertama, Megumin!”

Setelah namaku dipanggil, aku pun berdiri untuk mengambil ramuan itu.

Yunyun yang duduk di sampingku nampak kesal melihat hal ini.

“Hasilmu selalu konsisten! Bapak selalu berpikir kalau kamu seharusnya sudah punya cukup skill point untuk bisa mempelajari sihir tingkat lanjut… Tapi, tidak apa-apa, teruslah berusaha keras!”

Setelah mengambil ramuannya lalu kembali duduk di kursiku, aku kembali menatap ke arah jendela.

Dari jendela lantai dua, aku bisa melihat pemandangan di luar desa.

Apa orang tanpa nama yang aku temui saat masih kecil, saat ini tengah berkelana dengan penuh semangat?

Saat wali kelas kami memberikan semangat pada murid lain, aku diam-diam mengeluarkan sebuah kartu dari kantung dadaku.

Kartu ini disebut Kartu Petualang. Pada bagian job-nya tertulis Arch Wizard.

Level 1. Di bawahnya tertera 45 skill point.

Di kolom skill yang tersedia, kalimat ‘Mempelajari ‘sihir tingkat lanjut’ memerlukan 30 skill point’ terus bersinar.

“Murid lain sebaiknya belajar dari Megumin dan berusaha keras supaya bisa menguasai sihir tingkat lanjut! Sekarang, kita mulai pelajaran hari ini!”

Tanpa memperdulikan wali kelasku, jariku menyentuh sebuah baris kalimat yang masih berwarna abu-abu di daftar skill yang ada di kartuku…

‘Mempelajari ‘Sihir Peledak’ memerlukan 50 skill point.’

Di Klan Iblis Merah, seseorang harus mempelajari sihir tingkat lanjut untuk bisa dianggap sebagai seorang penyihir, tapi itu bukanlah sihir yang ingin aku pelajari.

Sihir penghancur yang dilakukan oleh orang berjubah itu masih terekam jelas dalam ingatanku.

Aku pasti akan mempelajari sihir Peledak.

Dan suatu hari nanti aku akan menunjukannya pada orang itu—

——————————-

BAGIAN KEDUA

Saat jam istirahat setelah pelajaran pertama selesai, seseorang memukul mejaku dengan kerasnya.

“Megumin! Kamu mengerti ‘kan?”

Orang yang berbicara padaku adalah Yunyun yang duduk di sampingku.

Dia adalah putri Kepala Klan Iblis Merah. Seseorang yang serba bisa dan juga bertugas sebagai ketua kelas.

“Ok. Ngomong-ngomong, sarapanku hari ini apa? Aku sudah lapar.”

“Be-begitu yah? Hari ini aku menyiapkan makanannya dengan penuh kasih… Tunggu, bukan itu! Kenapa kamu menganggap kalau aku akan kalah? Ha-hari ini aku pasti tidak akan kalah! Kali ini, aku akan menunjukkanmu kemenangan sang putri kepala klan!”

Dia mengaku sebagai rivalku, tetapi dia selalu memberiku makanan setiap hari.

Setelah Yunyun menyatakan tekadnya, dia menaruh kotak bekalnya di atas mejaku.

Aku pun menaruh ramuan yang sebelumnya aku terima.

“Aku yang akan menentukan pertandingan kita hari ini. Putri ketua klan pasti bisa sedikit berkompromi ‘kan? Kalau kita mempertaruhkan ramuan dengan kotak bekal jelas tidak adil.”

“Aku mengerti. Megumin, kamu boleh menentukan jenis pertandingan hari ini.”

Dia mudah sekali diakali.

“Kalau begitu, pertandingan kita hari ini adalah saat pemeriksaan fisik nanti. Siapa yang lebih ramping dan tidak makan tempat…”

“Gak adil dong! Kalau begitu mana mungkin aku bisa menang melawan Megumin!”

Hah!?

“Meski aku yang memutuskan pertandingannya seperti apa, aku tetap saja marah kalau kamu mengatakannya dengan yakin seperti itu! Kita itu seumuran, jadi perbedannya pasti tidak terlalu besar! Nih cewek narsis banget sih!”

“Aww, aww! Hentikan! Pertarungannya seharusnya tentang siapa yang paling besar pertumbuhannya ‘kan? Kalau kamu masih punya banyak tenaga seperti ini, bagaimana kalau kita bertanding saat pelajaran olahraga saja?”

Aku masih memukuli Yunyun sampai membuat suara “mpok mpok mpok”, sementara murid lain sudah pergi ke ruang UKS.

Berdasarkan penelitianku selama bertahun-tahun, dari kata-kata yang aku ingat saat aku kecil – “Menjadi Arch Wizard akan membuat dadamu besar” – mungkin memang ada benarnya.

Kemungkinannya karena sirkulasi mana membuat peredaran darah bekerja lebih baik dan mempercepat pertumbuhan. Kebanyakan penyihir kuat di desa ini punya dada yang besar.

Maka dari itu, sebagai murid teratas di kelas, sebentar lagi aku akan punya dada besar.

Sambil berdelusi ria, aku berjalan ke ruang UKS. Sementara Yunyun mengejarku dari belakang.

“Hei, Megumin. Kalau kamu seyakin itu, kita selesaikan pertandingan kita dengan permainan biasa saja, ok? Ah, jangan berjalan terlalu cepat…!”

Saat kami masuk ke ruang UKS, pemeriksaannya sudah dimulai.

Murid di kelasku semuanya perempuan. Aku yang paling pendek.

Aku mengira kalau hal ini disebabkan karena aku kekurangan nutrisi.

Gara-gara ayahku yang merupakan seorang seniman item sihir dengan selera seni yang berbeda dari yang lainnya, keluargaku jadi selalu kekurangan uang.

Makan tidak teratur setiap harinya mungkin mengganggu pertumbuhanku.

“Ah, Arue semakin besar. Kamu nomor satu dikelas. Bagus, selanjutnya… Megumin… Hmm, sudah kubilang, mau kamu membusungkan dadamu seperti itu, tidak akan ada gunanya. Aku menggunakan sihir Pemeriksa, jadi hasilnya tidak akan berubah meski kamu mengambil napas dalam-dalam dan menahannya di dadamu.”

Sedikit usahaku terbuang sia-sia. Guru UKS menggunakan sihir untuk menentukan data fisikku yang sebenarnya.

“Hmm… Megumin bertambah tinggi sedikit. Selanjutnya, Yunyun.”

“Uhh, karena aku bertambah besar, aku pasti akan kalah… Ahh, aku jadi kalah lagi sama Megumin… Aww, aww! Kamu kenapa sih? Aku ‘kan kalah, selain itu bekalku jadi milikmu. Jadi kenapa Megumin masih memukuliku?”

“Tanya dada terkutukmu itu!”

“Megumin, stres itu tidak baik untuk pertumbuhanmu!”

———————————–

BAGIAN KETIGA

Aku memakan sarapan yang aku rampas dari Yunyun.

“Megumin! Nih, ada puding kelas atas yang dibuat dari Neroid lho! Pasti cocok sebagai pencuci mulut!”

“Makasih. Ah, gak ada sendoknya.”

“Ah, ma-maaf. Tunggu sebentar yah.”

Dengan tenang aku memakan sarapan Yunyun di mejaku, sambil melihatnya yang sedang terburu-buru mengambil sendok. Kemudian, Yunyun pun sadar akan apa yang dia lakukan, lalu membanting puding dan sendoknya ke atas meja.

“Bukan itu yang aku maksud! Aku mau menggunakan puding ini sebagai taruhan! Kenapa aku harus serajin ini memberi makan Megumin?”

“Aku merasa seperti anak kucing atau anjing, diberi makan oleh Yunyun setiap hari. Karena itu, bukannya sudah hampir waktunya kamu membawaku pulang ke rumahmu? Sekalian belikan camilan saat kita pulang nanti.”

“Eh!? Bo-boleh yah…? Lho- Bukan ini maksudku! Kita ini ‘kan rival! Selain itu, yang kamu maksud dengan ‘belikan camilan’ itu cuma kamu merampas makananku!”

Sejak kapan aku menjadi rivalnya?

Terserah deh. Aku kemudian mengembalikan kotak bekal milik Yunyun setelah menghabiskan isinya.

“Terima kasih atas makanannya. Hari ini rasanya lumayan. Sangat enak. Besok aku mau makanan yang mengandung banyak protein.”

“Ah, be-begitu yah? Kalau begitu, besok aku…”

Yunyun mengambil kotak bekalnya, dengan wajah bahagia dia menaruhnya kembali di tasnya, dan akhirnya sadar dengan apa yang dia lakukan.

“Su-sudah kubilang, ini aneh tahu! Kenapa aku harus selalu…”

“Duduk di kursi kalian masing-masing. Pelajaran sudah dimulai. Hei, jangan membawa puding ke sekolah. Bapak sita!”

“Ah!” x2

Tiba-tiba saja wali kelas kami masuk ke dalam kelas dan langsung menyita puding yang ada di atas mejaku.

Wali kelas kami mengabaikan Yunyun yang ada di sampingku selagi ia berkata dengan suara pelan “Pudingku…” dan memulai pelajaran.

Wali kelas kami menulis kalimat-kalimat tentang sistem sihir di papan tulis, lalu menyuruh murid-murid untuk mencatatnya.

Kami pun mencatat dengan tenang. Wali kelas kami dengan seenaknya memakan puding yang barusan dia sita sambil menjelaskan pelajaran.

“Hari ini bapak akan menjelaskan sihir khusus. Pertama, ada tiga macam sihir yang tertulis di sini. Sihir dasar, menengah, dan lanjut. Tidak perlu menjelaskannya lebih jauh lagi. Kalian seharusnya sudah tahu kalau sihir tingkat lanjut adalah tingkat ilmu sihir tertinggi.”

Wali kelas kami menulis tiga tipe sihir lain di papan tulis.

“Di dunia ini, selain sihir tingkat lanjut, ada juga sistem khusus sihir yang lain, yang dikenal dengan Sihir Peletup, Sihir Peletus, dan Sihir Peledak. Meskipun sistem-sistem sihir tersebut sangat kuat, tetapi sulit dikendalikan dan memakan banyak mana. Karenanya, jarang ada orang yang menggunakannya.”

Aku dari tadi hanya memperhatikan puding yang dimakan bapak wali kelas, tapi saat mendengar kalimat ‘Sihir Ledakan’, perhatianku langsung teralihkan.

“Pertama, Sihir Peletup. Sihir ini bisa menghancurkan batuan dasar. Penyihir yang mempelajari sihir ini akan direkrut oleh pemerintah saat mereka perlu melakukan pengembangan kota. Tapi, mempelajari Sihir Peletup memerlukan skill point yang sama banyak dengan sihir tingkat lanjut. Karenanya, sebaiknya tidak perlu mempelajari sihir ini. Kecuali kalian ingin menjadi seorang pekerja teknik sipil.”

Sihir peletup— Sihir peletup— Aku menulisnya dengan rapi di buku catatanku, menyimak dengan seksama penjelasan yang diberikan.

“Selanjutnya yaitu Sihir Peletus. Ini adalah sihir yang digunakan oleh sang Arch Wizard legendaris. Di hadapan rentetan sihir peletusnya, monster-monster yang berani melawannya akan langsung terkubur tanpa bisa sempat melawan. Tapi, sihir ini memerlukan banyak mana. Seorang penyihir biasa hanya bisa menggunakannya beberapa kali saja. Meski jika kalian yakin kalian memiliki mana yang banyak dalam diri kalian, mempelajari sihir ini tetap saja bukan pilihan yang baik.”

Sihir Peletus— Sihir Peletus—

Aku pun menulis ‘Sihir Peletus’ di buku catatanku.

Setelah itu, guru kami pun menyimpan kapurnya lalu kembali memakan puding.

Dasar, dia tidak menjelaskan sihir yang paling penting, yaitu sihir peledak!

“Pak. Tentang sihir peledak…”

Aku pun berdiri dan mengangkat tanganku. Perhatian semua murid di kelas ini langsung tertuju padaku. Guru itu langsung tertawa setelah mendengar perkataanku.

“Jangan mau mempelajari sihir peledak. Sihir itu memerlukan skill point yang sangat banyak. Bahkan seorang penyihir yang memiliki mana yang banyak tidak bisa melakukannya dengan sempurna karena sihir ini memerlukan mana yang sangat banyak. Meski jika penyihir itu bisa melakukannya secara kebetulan, daya penghancurnya yang sangat besar bukan hanya akan menghancurkan monster yang ada, tapi juga akan merubah kondisi permukaan tanah yang ada. Suara ledakannya juga akan menarik perhatian monster yang ada di sekitar. Ya, sihir peledak itu cuma sihir yang tidak berguna.”

—————————————–

BAGIAN KEEMPAT

—Pelajaran ketiga adalah Bahasa.

“Murid-murid, bagi Klan Iblis Merah, tata bahasa dan kosa kata adalah hal yang sangat penting. Apa ada yang tahu alasannya? …Megumin! Coba jelaskan kenapa hal-hal tersebut penting bagi Klan Iblis Merah.”

Aku pun berdiri setelah namaku dipanggil.

“Karena kecepatan mengucapkan mantra serta benar-tidaknya pengucapan mantra tersebut akan mempengaruhi pengendalian sihir yang dilakukan.”

“Tiga poin, masih kurang tepat.”

“Ti-tiga poin!?”

Aku hanya mendapatkan tiga poin… tiga poin…

Aku pun duduk dengan rasa kecewa. Kali ini Yunyun, yang duduk disampingku, dipanggil untuk menjawab.

“Selanjutnya, Yunyun! Beritahu jawaban yang benar.”

“Baik! Sihir kuno yang tersegel ditulis menggunakan bahasa zaman dulu. Wajib untuk mempelajari bahasa tersebut supaya bisa menguraikan sihir terlarang dan sejenisnya.”

“30 poin! Kamu sudah benar dengan menyebutkan tentang sihir terlarang dan sihir tersegel, tapi sisanya masih salah!”

“30 poin!? …30 poin…”

Yunyun pun duduk dengan perasaan kecewa. Guru kami sepertinya kecewa lalu dia melepas napas panjang.

“Haahh… Apa kalian berdua benar-benar murid papan atas di kelas ini…?”

“Eh!” x2

Perkataan guru tadi membuat kami berteriak, tetapi guru menyebalkan ini mengabaikan kami lalu memanggil murid yang lain.

“Arue! Bagi Klan Iblis Merah, kenapa tata bahasa dan kosa kata itu penting?”

Peringkat ketiga di kelas ini, Arue, berdiri dari kursinya. Ia menengadahkan kepalanya sambil membusungkan dadanya.

“Untuk mencegah julukan aneh seperti ‘Pengendali Api Api Ledakan’. Juga untuk memberikan monolog yang menarik sebelum pertarungan yang gunanya untuk memeriahkan suasana.”

“100 poin! Ya, julukan itu penting. Bapak sendiri memiliki julukan terbaik di desa ini. Saat kalian lulus, kalian juga harus memutuskan julukan kalian sendiri. Saat pelajaran olahraga nanti, Bapak akan menunjukan contohnya pada kalian!”

———————————–

BAGIAN KELIMA

Menyebut tempat ini sebagai lapangan sekolah rasanya sedikit berlebihan. Pada dasarnya, tempat ini adalah sebuah tanah lapang yang dibuat dengan caramembakar semua tanaman yang ada di depan sekolah menggunakan sihir api.

Guru kami yang saat ini memakai jubah, sejak tadi tengah membakar sesuatu.

Asap yang ditimbulkan nampak lebih tebal dibandingkan saat aku tiba di sekolah. Guru kami pasti datang lebih awal ke sekolah supaya bisa melakukan hal ini.

Selagi asap terus naik ke langit, langit menjadi semakin gelap.

Guru itu sepertinya membakar jimat pembuat hujan yang mahal, supaya bisa memunculkan awan hujan.

Setelah guru kami merasa puas dengan ukuran awan yang mengambang di langit, dia mengangguk pelan.

“Bagus. Pelajaran selanjutnya adalah latihan bertarung! Bagi Klan Iblis Merah, apa hal terpenting dalam pertarungan? Hm… Yunyun, jawab!”

“A-aku? Me-menurutku, hal paling penting dalam pertarungan… ke-ketenangan! Tetap tenang dalam berbagai situasi itu penting!”

“Lima poin! Selanjutnya, Megumin!”

“Li-lima poin!?”

Setelah menerima lima poin dari guru, Yunyun langsung menjadi sedih, terus-menerus bergumam “Lima poin…”

Hal paling penting dalam pertarungan? Tentu saja…!

“Kekuatan penghancur! Kekuatan untuk meluluhlantakkan segalanya! Hanya kekuatan yang paling penting!”

“50 poin! Kekuatan memang penting. Jika kekuatan kita kurang, Klan Iblis Merah tidak akan bisa bertarung. Tapi jawabanmu masih kurang tepat, jadi kamu hanya mendapatkan 50 poin!”

“Aku cuma dapat 50 poin…!?”

“Aku cuma dapat lima poin…”

Guru kami memperhatikan ekspresi kecewa kami, lalu meludah ke tanah seakan berkata “Murid teratas kelas ini sangat mengecewakan”

“Cuih!”

“Eh!?” x2

Guru yang kesal ini mengabaikan teriakan kami lalu memanggil murid lain.

“Arue! Kamu pasti tahu! Orang sepertimu, yang menutup mata kirinya dengan penutup mata. Apa hal paling penting dalam pertarungan?”

Kalau teman sekelasku ini melepas penutup matanya dia bisa dianggap sebagai gadis yang ‘sangat cantik.’ Arue, yang kelihatannya berbeda umur dengan kami, mengambil satu langkah ke depan lalu menggunakan jari telunjuknya untuk mengangkat sedikit penutup matanya.

“Tampil keren.”

“100 poin! Lumayan, Arue. Bapak akan memberimu ramuan penambah skill point. Kita, anggota Klan Iblis Merah, harus bertarung dengan penuh gaya dan menawan! Sekarang, bapak akan memberikan kalian contoh…”

“‘Call of Sandstorm’!”

Aku tidak tahu mantra apa yang diucapkan guru kami. Muncul kilatan petir di antara awan-awan hujan gelap yang sedari tadi melayang di atas kami.

Sihir yang kuat mulai dilancarkan, deru angin semakin keras.

Teman-teman sekelasku mulai memegangi rambut mereka karena hembusan angin yang kencang. Guru kami mengeluarkan tongkat yang sudah ia siapkan. Ia kemudian mengangkatnya tinggi.

“Diriku bernama Pucchin, Arch Wizard yang menguasai Sihir Tingkat Lanjut…”

Setelah guru kami menyebutkan namanya, petir menyambar ujung tongkatnya.

Kemudian, guru itu mengibaskan jubahnya yang berkibas tanpa henti diterpa angin.

“Wali kelas terkuat di Klan Iblis Merah, orang yang suatu saat nanti ‘kan menjadi kepala sekolah di sini…!”

Setelah ucapan guru itu, kilatan petir yang jauh lebih besar muncul.

Dengan kilatan cahaya petir di belakangnya, guru kami menahan posenya, terus memegang tongkatnya dan mengibaskan jubahnya.

“Keren sekali!”

Selagi seluruh teman sekelasku berteriak kegirangan, aku memandangi sekelilingku. Cuma Yunyun yang memegangi pipinya dengan tubuh gemetar.

Karena guru kami nampak sangat keren, Yunyun tidak berani melihatnya secara langsung. Aku bisa mendengar bisikan suaranya.

“Me-memalukan sekali…!”

Sepertinya rumor kalau gadis ini sedikit aneh memang benar.

Aku dengar setelah masuk masa pubertas, beberapa anak akan mulai mengagumi seseorang atau tokoh. Hal ini disebut Chuunibyou. Dia mungkin mengalaminya.

Dalam deru angin yang begitu kencang, guru kami akhirnya berhenti berpose, menepuk kedua tangannya sambil berkata:

“Bagus! Kalian semua, berpasanganlah dengan teman kalian! Kemudian, kalian akan saling membuat perkenalan diri yang keren, telitilah dalam mencoba berbagai macam pose!”

Setelah mendengar perkataan guru kami, Yunyun langsung gemetar.

Aku penasaran apa yang tidak benar dengan dia, jadi aku terus memperhatikannya. Dia mulai melirik kesana-kemari dengan wajah gugup, kemudian dia menengok ke arahku.

Pastinya dia ingin berpasangan denganku, tetapi sayangnya terlalu sulit baginya untuk memintanya padaku karena dia menganggap dirinya sebagai rivalku… Menyusahkan sekali.

Aku putuskan untuk memaksanya supaya berpasangan denganku lalu membuatnya menangis dengan perkenalan diriku yang keren. Tapi kemudian, seseorang datang.

“Megumin, apa kamu sudah punya pasangan? Kalau belum, bagaimana kalau berpasangan denganku?”

Aku pun berbalik setelah mendengar ucapan orang itu dan yang menyambutku adalah sepasang dada besar, yang nampak bukan milik anak usia 12 tahun. Rasanya seperti sengaja dipamerkan saja… Membuatku semakin kesal saja.

Pada saat itu, “Ah” suara kecil terdengar di belakangku.

Aku tidak perlu berbalik untuk mencari tahu suara siapa itu. Pastinya Yunyun.

Teman sekelasku yang berbicara denganku ini memakai penutup mata, Arue, sepertinya sedang melakukan pemanasan, memutar-mutar kepalanya sambil melompat.

Dadanya ikut naik-turun selagi dia melompat-lompat…

…Dia jelas musuh!

“Ok. Berdasarkan statistik perhitunganku, kemungkinan kamu menjadi seorang Arch Wizard yang kuat itu sangat besar. Maka dari itu, saat ini juga, ayo kita tentukan siapa yang lebih hebat!”

“Memangnya statistik bisa menganalisa hal seperti itu!?”

Yunyun langsung membalas ucapanku, tapi aku tidak punya waktu untuk membalas ucapannya.

“Apa semuanya sudah punya pasangan? Seharusnya ada satu orang yang tersisa yang akan berpasangan denganku, guru kalian.”

“Eh? Ah!”

Yunyun langsung melihat kesana-kemari dengan wajah cemas, sadar kalau dia yang tersisa. Dengan kecewa, dia berjalan ke arah guru.

…………

“Arue. Hari ini aku tidak enak badan. Aku mau istirahat saat pelajaran olahraga. Mungkin karena ada benda aneh yang tercampur dalam makanan yang aku dapat dari Yunyun.”

“Ah!?”

Mendengar ucapanku, Yunyun langsung menunjukan wajah penuh terima kasih sekaligus terkejut.

“Pak, aku tidak enak badan. Boleh aku istirahat selama jam pelajaran ini?”

“Eh? Tidak boleh. Kamu belum pernah masuk pelajaran olahraga sampai selesai. Hari ini pelajarannya penting. Jangan pura-pura sakit.”

Menghadapi guru yang tidak mau memberi keringanan seperti ini, aku langsung merintih sambil terbaring di tanah.

“Jangan mencoba tipuan seperti ini padaku…”

“A-aku tidak bisa menahannya lagi…! Jika terus seperti ini, makhluk yang ada di dalam diriku ini akan mengambil alih tubuhku…!”

“Apa!? Megumin, kau…! Rupanya makhluk yang tersegel di dalam tubuhmu mulai bangkit…!? Kalau keadaannya seperti ini, aku mengizinkanmu untuk pergi ke ruang UKS. Mintalah guru di UKS untuk memperkuat segelmu itu.”

“Baik. Aku pergi.”

“—Baik, apa semuanya sudah berpasangan? Mulai!”

Sambil berjalan ke ruang UKS, aku mendengarkan instruksi guru kami.

Kalau pelajaran olahraga ini akan membakar kalori yang sudah susah payah aku dapatkan dari bekal Yunyun, semuanya akan sia-sia.

Setelah aku menerima obat dengan penguat segel (yang juga dijual di toko) dari guru UKS, aku membaringkan diriku di atas tempat tidur.

Di dalam ruang UKS yang sepi, aku menarik selimutku hingga menyentuh pundakku, memikirkan apa yang sebelumnya guru itu katakan.

—Sihir Peledak itu sihir yang tidak berguna.

Aku menutup kepalaku dengan selimut, merasa kesal.

“Pa-pak guru! Hujan turun! …Lebih tepatnya, hujan pasir! Kami sudah melihat pose keren pak guru, jadi bapak bisa menghentikan hujan ini tidak?”

“Bunga tulip yang ditanam dengan hati-hati oleh kepala sekolah di taman bunga terbawa angin!”

“Ba-bapak tidak bisa menghentikannya! Gawat. Bulan, yang merupakan sumber sihir, hari ini sedang berada di titik puncaknya. Kekuatanku yang selama ini aku tahan telah terlepas…! Akan ‘ku hentikan hujan ini! Jangan pedulikan aku, cepat berlindung di dalam sekolah!”

“Pak guru! Jujur saja, pak guru cuma berpikir soal pertunjukan yang bapak lakukan sebelumnya. Bapak sama sekali tidak berpikir tentang bagaimana caranya untuk menghentikan hujan ini!”

Sambil mendengarkan suara dari lapangan sekolah, perlahan aku menutup mataku—

—————————

BAGIAN KEENAM

“Hei, Megumin, kenapa sih kamu dari tadi tidak mau diam, terus-terusan memakerkan ramuan penambah skill point-mu di depan mejaku? Ada yang mau kamu bicarakan?”

“Gak ada apa-apa kok… Oh ya, bekal Yunyun hari ini kelihatannya enak tuh.”

“Me-menurutmu begitu, yah? Selain kotak bekal yang kamu rampas, aku membuat porsi tambahan… Ah, yang ini tidak akan aku berikan padamu! Yang ini bukan untuk taruhan. Kalau kotak bekal yang ini juga ikut kamu rampas, aku tidak bisa makan siang, jadi aku tidak akan menantangmu!”

“……”

“Berhenti! Jangan memamerkan ramuan itu di depanku. Cepat kamu minum saja!”

“……”

“He-hentikan! Sudah kubilang aku tidak akan memberikan bekal ini padamu! Me-meski kamu menunjukan wajah sedih seperti itu…. aku… hanya akan memberikanmu separuh saja…”

Setelah memakan makan siang yang aku dapat dari Yunyun, terdengar pengumuman.

“Berdasarkan analisa dari Bapak Pucchin tentang hujan misterius yang terjadi pagi tadi. Tidak salah lagi, ini disebabkan oleh dewa hujan jahat dan pemalas yang tersegel di suatu tempat di Desa Klan Iblis Merah ini. Setelah melakukan pemeriksaan, kepala sekolah telah memastikan bila hujan ini dipengaruhi oleh sihir, yang berarti hujan ini adalah hujan buatan. Semua guru saat ini sedang mencoba mengendalikan hujan yang masih turun, maka dari itu semua pelajaran di jam siang ini dibatalkan. Saat ini, cuaca di luar sedang mengalami angin kencang, petir, dan hujan yang sangat deras, sehingga berbahaya bagi murid-murid untuk pulang ke rumah masing-masing. Karenanya, diharapkan bagi para murid untuk melakukan kegiatan belajar mandiri di sekolah.”

Sepertinya guru-guru di sini melempar semua kesalahan pada dewa jahat.

Selagi aku sedang berpikir untuk menggunakan kesempatan ini supaya bisa mendapatkan makanan gratis, beberapa murid berdiri dari kursinya.

Mereka sepertinya akan pergi ke perpustakaan sekolah untuk menghabiskan waktu luang.

—Ada sih hal yang sedang aku ingin cari tahu.

Dengan terburu-buru aku memasukkan makanan yang aku rebut dari Yunyun ke dalam mulutku…

“‘Kan sudah aku bilang cuma separuh! Aku cuma memberi kamu separuh porsinya saja!”

Setelah melempar kotak bekalnya pada Yunyun, aku berlari ke perpustakaan.

Ini adalah sekolah di Desa Klan Iblis Merah yang menghasilkan banyak Arch Wizard, sehingga perpustakaannya pun seharusnya memiliki banyak buku yang bagus.

Mulai dari legenda terlarang hingga buku panduan yang kebenarannya dipertanyakan.

Yunyun yang membuntutiku, dengan sendirinya ikut mencari sesuatu di rak buku panduan.

“Buku Sihir Terlarang Supaya Mudah Berteman”, “Siput pun Bisa Bersosialisasi”……

Yunyun mengambil beberapa buku yang judulnya tidak bisa aku mengerti, tetapi melihat matanya yang bersinar penuh rasa senang, aku putuskan untuk menyimpan dalam-dalam di hatiku kata-kata yang dia gumamkan.

Aku kembali mencari buku yang aku inginkan, menjejaki setiap buku yang ada di rak ini dengan jariku.

“Rahasia Asal-Usul Klan Iblis Merah”, “Hingga Runtuhnya Kerajaan Sihir”, “Serial Bangsawan Neraka. Vol.4 Iblis Peramal”, “Kebenaran Tentang Penghuni dari Dunia Lain”……

Buku menarik muncul satu demi satu, sampai akhirnya aku pun menemukan buku yang aku cari.

“Panduan Sihir Peledak”

Aku pun mengambil buku itu lalu membuka halamannya satu demi satu.

“Sihir Peledak adalah sihir penghancur terkuat yang pernah ada. Merupakan sihir tipe menyerang yang bisa mengakibatkan kerusakan pada apapun yang ada di dunia ini. Saat ini, cara untuk mempelajari sihir ini hampir hilang dimakan sejarah, hanya diketahui oleh manusia yang telah menghabiskan bertahun-tahun untuk meneliti sihir dan juga oleh penyihir non manusia yang berumur panjang. Selain itu, sihir ini tidak hanya sulit untuk dipelajari, kesempatan untuk menggunakannya pun terbatas. Karena itulah, penyihir yang menggunakan sihir ini juga dikenal sebagai Penyihir Ranjau, karena sering dihindari oleh para petualang yang sedang mencari anggota kelompok.”

Setelah membacanya, kekagumanku akan sihir Peledak sedikit tergoyahkan.

Saat aku melihatnya ketika masih kecil, sihir peledak adalah sihir penghancur yang akan memorak-porandakan segalanya.

Aku selalu mengagumi orang bermantel itu dan juga sihirnya—

“Pertama, orang dengan kemampuan biasa-biasa saja tidak akan bisa menggunakannya. Meski jika ia sudah mempelajarinya, dia tidak akan mampu menggunakannya karena sihir ini membutuhkan mana yang besar. Masih misteri mengapa sihir seperti ini dikembangkan. Pada masa sekarang, hanya penyihir non manusia, yang memiliki umur yang sangat panjang, akan iseng menggunakan skill point yang teramat banyak untuk mempelajari sihir ini…”

…Setelah membacanya, aku menaruh kembali buku itu di rak buku.

Aku merasa kalau aku terus membacanya, perasaanku akan semakin remuk.

Pada saat itu, aku menyadari ada sebuah judul buku yang menarik di samping buku yang barusan aku simpan.

“Si Liar Rhodes”

Tertarik dengan judul aneh itu, aku mengambil buku yang dimaksud.

—Sebuah kisah tentang seorang raja tua pikun yang ditemani oleh dua orang pelayan sementara dia terus berkelana di wilayahnya demi bisa merubah dunia.

Karena sebuah kejadian yang tak terduga, para penduduk desa menyadari identitas raja tua itu lalu menuduh penguasa wilayah mereka atas berbagai macam kejahatan. Sang penguasa bersikeras bahwadirinya tidak bersalah, menyatakan bila para penduduk desa telah memfitnah dirinya.

Raja tua itu menyatakan bahwa kedua pihak bersalah dan memberikan hukuman kepada para penduduk desa dan juga si penguasa jahat. Akibatnya, para penduduk desa dan si penguasa bekerja sama untuk mengalahkan raja tua itu.

Raja tua murka, menyatakan kalauia akan menghancurkan negeri ini. Namun, kedua pelayannya mencoba menenangkan sang raja, “Waktunya makan, Tuanku,” mereka pun mengantar sang raja ke rumahnya.

Setelah bertarung bersama, para penduduk desa dan si penguasa mempelajari hikmah dari bekerjasama. Tidak lama kemudian, mereka pun membangun sebuah kota megah yang tak bisa disaingi oleh kota-kota lain—

……Volume 2-nya di mana?

Aku mencari kelanjutan buku ini.

“Hei, buku apa ini? Konyol banget! Memangnya kenapa, kamu gak punya teman?”

Dalam suasana tenang perpustakaan ini, tiba-tiba saja ada orang berbicara dengan suara keras yang tidak selaras dengan suasana yang tenang ini.

Aku melihat ke arah asal suara itu dan melihat Yunyun sedang bersama salah satu teman sekelasku.

Situasi yang seperti ini…!

“Teman… Aku…”

“Kamu gak punya, ‘kan? Kalau gak, mana mungkin kamu baca… ‘Kamu pun Bisa Berteman dengan Ikan’…? Hei, hei. Jangan baca buku seperti ini. Setidaknya baca buku tentang mamalia dong…”

“Hentikan itu!”

Aku langsung menengahi mereka berdua, lalu menunjuk ke arah teman sekelasku itu.

“Tujuanmu itu adalah untuk menjahili dan mempermainkan gadis menyedihkan ini, lalu mengambil kesempatan saat hatinya hancur dan berpura-pura menjadi temannya supaya kamu bisa meminta hal-hal yang tidak baik darinya, ‘kan? Meski kamu bisa menyembunyikannya dari orang lain, kamu tidak akan bisa menyembunyikannya dariku!”

“Ehh!?”

Setelah niat terselubungnya aku ungkapkan, teman sekelasku ini nampak panik.

“Hei, tunggu dulu, aku tidak mengerti maksud perkataanmu itu! Aku cuma mau ngobrol sama Yunyun soalnya aku melihat dia sedang membaca buku yang menarik…”

“Me-Megumin, ada apa? Apa kamu terpengaruh oleh buku aneh yang kamu baca? Um, dia cuma sedang mengobrol denganku…”

Teman sekelasku dan juga Yunyun saling menjelaskan situasi yang ada, tetapi—

“Tidak apa, aku hanya merasakan suasana yang tidak mengenakkan, sehingga aku mengganggu kalian berdua karena aku sedang tidak ada kerjaan. Dan karena aku tidak ikut pelajaran sebelumnya, cuma aku yang belum melakukan perkenalan diri, sehingga aku merasa kurang puas.”

“ALASANMU ANEH BANGET TAHU!” x2

Mungkin karena seseorang mendegar teriakan Yunyun dan teman sekelasku, pintu perpustakaan tiba-tiba saja terbuka.

“Kalian terlalu berisik! Jangan berisik di dalam perpustakaan. Bapak sedang memikirkan cara untuk menghentikan hujan dari dewa jahat ini. Kekuatan kepala sekolah dan aku sudah cukup untuk menahan dewa jahat ini…”

“Pak guru, bukankah sebelumnya bapak bilang kalau ini karena kekuatan bapak yang selama ini tertahan telah terlepas…! Kasihan dewa jahatnya kalau selalu disalahkan!”

Teman sekelasku mengeluarkan pendapatnya, mengeluh pada guru kami yang tidak bertanggung jawab ini.

“Tidak, orang-orang desa sudah memeriksa Makam Dewa Jahat. Sepertinya ada orang bodoh yang bermain-main dengan segel makam itu dan menghancurkannya. Sepertinya, masih ada beberapa pecahan segel yang hilang. Dewa Jahat dan anak buahnya bisa muncul kapan saja. Soalnya, segelnya dibuat khusus untuk menyegel dewa jahat itu, sehingga anak buahnya yang mencoba melepas segel itu sudah melarikan diri. Karena itu, sebelum segel itu diperbaiki, kalian jangan pulang sendirian.”

Ucap wali kelas kami.

—————————————

BAGIAN KETUJUH

“Hei, kamu tahu tidak? Sekitar 7 tahun lalu, saat kita masih kecil, segel dewa jahat itu terlepas. Kalau tidak salah ada sebuah lubang besar di dekat Makam Dewa Jahat itu, ‘kan? Katanya itu adalah lubang yang dibuat oleh seorang penyihir pengelana yang menyegel kembali dewa jahat itu.”

Kami kembali ke kelas, dan teman sekelas kami sedang membicarakan masalah itu.

Di desa ini, rumor yang sulit dipercaya seperti itu pun bisa menjadi bahan obrolan.

Ingatan masa kecilkusamar, tapi penyihir pengelana yang mereka sebut tadi pasti orang bertudung yang menyelamatkanku.

Karena guru-guru pergi untuk menyelidiki soal dewa jahat, kami sudah diperbolehkan untuk pulang.

Teman sekelas kami pulang berkelompok sesuai arah rumah mereka masing-masing. Hanya aku dan Yunyun yang masih ada di dalam kelas.

Rumahku ada di pojok Desa Klan Iblis Merah, sehingga tidak ada teman sekelasku yang tinggal dekat denganku.

Mereka yang mau pulang dan mampir dulu untuk beli camilan berjalan saling berdekatan sambil berkata “yang ini enak, yang itu juga enak.” Mungkin karena itulah tidak ada yang mau mengajakku pulang bersama.

Tanpa ada pilihan lain, aku pun memutuskan untuk pulang sendirian.

“Ah…”

Yunyun, yang juga masih ada di dalam kelas, menjulurkan tangannya sambil bergumam. Sepertinya dia ingin memanggilku.

“Ada apa?”

“Eh? Ti-tidak ada… Um, rumahnya Megumin itu arahnya sama dengan rumahku, jadi…”

Rumah Yunyun adalah rumah kepala klan yang dibangun di tengah desa.

Kalau dia mau pulang bersama ke rumahku, dia harus mengambil jalan memutar dari rumahnya…

“…Mau pulang bersama?”

“Boleh? Ah, tapi kita ‘kan rival. Kalau hubungan kita sedekat ini…”

Wajah Yunyun nampak berbinar, tapi dia malah mengatakan hal membosankan seperti itu. Aku mengabaikannya dan segera keluar dari kelas. Yunyun berlari mengejarku.

“Tunggu! Mulai besok! Kita lanjut jadi rivalnya mulai besok lagi!”

—Sambil membawa Yunyun keluar, awan-awan masih melayang ‘tak tentu arah.

Apa guru itu benar-benar membuat kejadian tidak biasa ini hanya demi melakukan pertunjukan seperti itu?

Membakar jimat mahal cuma supaya bisa tampil keren, guru itu benar-benar seorang anggota Klan Iblis Merah.

Meski wali kelas kami itu punya banyak kekurangan dan jarang bisa berguna, ini adalah satu hal yang bisa dianggap bagus.

Aku terus berjalan menuju rumahku. Yunyun, yang berjalan dibelakangku, berbicara dengan nada ragu.

“Megumin, apa kamu punya waktu luang? Um, kalau ada…”

Yunyun mengajakku membeli camilan.

Bahkan mentraktirku.

“Tentu saja, aku tidak punya alasan untuk menolaknya. Tapi, kenapa kamu mau mentraktirku?”

“Eh? Cu-cuma karena aku sedang sedikit lapar saja…”

Yunyun bersikap malu.

“Okelah, kamu lagi masa pertumbuhan sih. Tapi sebagai seorang gadis, bukannya aneh kalau nafsu makanmu itu terlalu besar?”

“Tunggu! Megumin, kamu sendiri tidak berhak berkata seperti itu! Aku lapar karena kamu memakan jatah makan siangku! Se-selain itu…”

Suara Yunyun tiba-tiba saja mengecil.

“Membeli camilan bersama teman, belanja sepulang sekolah… Itu… adalah hal yang aku nantikan…”

“Eh? Kamu barusan bilang apa?”

Yunyun mengatakan sesuatu, sehingga aku membalikkan badanku lalu mendekatkan telingaku padanya supaya bisa mendengarkannya lebih jelas.

Pada awalnya, Yunyun dengan wajah malu berbohong kalau dia tidak mengatakan apapun. Tapi setelah aku menanyainya berkali-kali, dia akhirnya menangis dan terus berkata kalau dia tidak mengatakan apapun.

—————————–

BAGIAN KEDELAPAN

“Halo! Selamat datang di kafe nomor satu Klan Iblis Merah! Rupanya Megumin, putrinya Hyoizaburo yah? Aku dengar kau itu anak rajin di sekolah. Orang-orang bilang kalau kau itu orang paling genius di Klan Iblis Merah. Jarang aku melihatmu makan di luar, mau pesan apa?”

“Aku mau pesan sesuatu yang mengandung banyak kalori dan bisa bikin cepat kenyang.”

“Megumin, seorang gadis seharusnya tidak memesan makanan dengan cara seperti itu! Umm, aku mau pesan rekomendasi hari ini…”

Yunyun dan aku tiba di beranda satu-satunya kafe di desa ini.

Pemilik toko membawakan kami daftar menu yang ada. Sepertinya dia kenal dengan ayahku.

“Rekomendasinya… ‘Gulai Rahmat Dewa Kegelapan’, juga ‘Mie Pedas ala Lava Napas Naga’.”

“Aku mau mie pedas.”

“Aku mau pesan yang ini, ‘Sandwich Kambing Persembahan bagi sang Dewa Iblis’.”

“Sip! Mie Peras ala Lava Napas Naga dan Sandwich kambing Persembahan bagi sang Dewa Iblis. Tunggu sebentar, yah!”

“Yang benar mie pedas!”

Yunyun dengan wajah memerah mengoreksi nama makanannya dengan nada serius. Aku meminum jus buah gratis yang ada di atas mejaku.

“Megumin, Megumin. Aku tahu ini agak mendadak sih, tapi aku boleh tanya sesuatu tidak?”

“Mau nanya apa? Berhubung kamu lagi mentraktir aku, aku akan menjawab pertanyaan-pertanyaan normal. Apa ini soal kelemahanku? Kelemahanku saat ini adalah kue. Camilan pencuci mulut adalah kelemahanku.”

“Bukan itu yang mau aku tanyakan! Lagipula, kelemahan macam apa itu? Padahal biasanya kalau makan kamu selalu rakus.”

“Bukannya biasanya memang begitu? ‘Cemilan dan kue adalah musuh para gadis!’ Memangnya kamu mau nanya apa?”

Aku memaksa Yunyun. Tiba-tiba saja, wajah Yunyun menunjukan keraguan.

Melihat ekspresi gadis ini membuat sifat sadisku tergoda.

“Megumin, kamu punya cowok yang kamu suka gak?”

“Yunyun lagi pengen kawin!”

Setelah mendengar ucapannya, aku langsung berdiri karena terkejut. Yunyun langsung menjelaskan apa maksud perkataannya, hampir menangis.

“Bukan, bukan begitu! Coba kamu pikir, obrolan cewek itu biasanya hal-hal yang tidak penting, ‘kan? Aku hanya mau mengobrolkan hal-hal seperti itu! Aku sendiri tidak punya orang yang aku suka!”

Kata-katanya sudah cukup menenangkan pikiranku, aku pun kembali duduk.

“Bagaimana cara mengatakannya, yah? Yunyun, dalam standar Klan Iblis Merah kamu itu anak yang aneh. Aku dengar, saat pelajaran olahraga kamu tidak bisa menentukan pose yang keren karena rasa malumu.”

“Memangnya aku aneh yah? Sejak kecil, aku justru selalu merasa kalau penduduk desalah yang aneh…”

Yunyun yang aneh merasa sedih karena ucapanku.

Dia tidak punya teman di kelas, mungkin karena sifat anehnya ini.

“Memangnya cowok seperti apa yang Yunyun suka?”

“Eh?”

Mendengar pertanyaanku, Yunyun langsung bermuka merah dan matanya bergerak kesana-kemari karena terkejut.

“Kamu mau ngobrol, ‘kan? Obrolan gak penting. Ngomong-ngomong, aku sih gak bakal nerima cowok yang ngasih aku uang cuma supaya dia dapat untung juga. Akan lebih baik kalau dia punya tujuan yang tinggi, bekerja siang dan malam, jujur dan juga serius.”

“Orang yang serius dan baik yah. Megumin juga punya sisi yang baik dan bisa menjaga orang lain, jadi kamu pasti akan membuat orang yang sifatnya kebalikan dari sifatmu tertarik padamu, orang-orang tidak berguna dan tidak bisa mandiri… Aww, aww! Aku cuma bercanda! …Aku sih sukanya yang dewasa dan kuat yang mau mendengarkan kata-kataku setiap harinya…”

—Siang hari yang damai.

Aku mengobrol tanpa henti dengan orang yang mengaku sebagai rivalku ini sembari berjalan pulang ke rumah.

———————————-

BAGIAN KESEMBILAN

“Aku pulang.”

“Selamat datang, kak!”

Setelah tiba di rumah, adikku, yang beberapa tahun lebih muda dariku, langsung berlari ke pintu depan untuk menyambutku.

Komekko, yang masih berumur 5 tahun, memiliki rambut yang sedikit lebih pendek dariku.

Komekko memakai jubah lamaku. Bagian jubah yang kepanjangan sampai menyentuh lantai kotor dengan tanah dan lumpur.

“Ahh… Ujung jubahnya kotor. ‘Kan sudah kakak bilang kalau kamu harus menjaga rumah. Kamu pergi bermain lagi yah?”

“Iya! Setelah mengalahkan bapak-bapak penjual koran, aku langsung pergi bermain!”

“Ohh, hari ini kamu menang lagi. Itu baru namanya adikku.”

“Iya! Aku bilang sama penjual koran, ‘aku belum makan selama 3 hari.’ Lalu, bapak penjual koran itu meninggalkan beberapa kupon makanan!”

Komekko menunjukan hasil usahanya itu dengan penuh rasa puas.

Selagi aku mengelus-elus kepala adikku yang hebat ini, Komekko tiba-tiba saja merasakan sesuatu.

“Ada aroma dari tubuh kakak.”

“Adikku memang hebat. Kakak membawa pulang sesuatu. ‘Sandwich kambing Persembahan bagi sang Dewa Iblis’! Makan sampai perut kamu meledak yah!”

“Asik! Rasanya seakan diri kita menjadi sang raja iblis. Kalau begitu, makan malam yang aku tangkap kita simpan untuk sarapan besok saja!”

Komekko yang suka sandwich, tiba-tiba saja mengatakan hal itu.

……Makan malam yang dia tangkap.

Aku ingat, dulu Komekko menangkap tenggeret dan memintaku untuk menggorengnya supaya bisa kami makan. Saat itu, tiba-tiba saja aku merasa takut.

“Komekko, kamu bilang makan malamnya apa? Memangnya apa yang kamu tangkap?”

“Kakak mau lihat? Aku mengalahkannya setelah pertarungan yang sengit. Seekor hewan buas hitam!”

Komekko meninggalkanku setelah mengatakan hal yang mengerikan itu, berlari kembali ke dalam rumah.

Semoga bukan serangga! Semoga bukan serangga!

Aku terus berdo’a sambil menunggu Komekko kembali. Tidak lama kemudian, Komekko membawa sesuatu bersamanya…

“…Meong…”

Seekor kucing hitam yang, entah kenapa, nampak kelelahan.

“…Kamu benar-benar menangkap sesuatu yang besar.”

“Iya. Susah sekali lho! Pada awalnya dia berusaha melawan, tapi akhirnya dia menyerah setelah aku menggigitnya beberapa kali.”

“Meski kemenangan adalah hal yang bagus, kamu seharusnya jangan sembarangan menggigit sesuatu.”

Komekko mengangguk, mengiyakan perkataanku. Aku kemudian mengambil kucing hitam itu.

Kucing hitam itu lalu bersembunyi di dalam pangkuanku. Sepertinya dia baru saja mengalami kejadian yang membuatnya trauma, terus bergetar ketakutan sambil mengarahkan kepalanya ke dadaku.

Komekko melahap sandwichnya, lalu berhenti sejenak, dia menatapi sandwich itu sementara sandwich yang barusan ia lahap masih ada di mulutnya. Dia kemudian menawarkan sandwich itu padaku.

“…Kakak mau makan?”

“Kakak sudah makan kok. Komekko boleh makan semuanya. Dan juga, biar kakak yang mengurus bola berbulu ini, ok?”

“OK!”

Komekko menikmati sandwichnya.

—Aku membiarkan kucing itu berada di kamarku. Dengan seenaknya dia menggulungkan tubuhnya di atas kasurku. Aku berbisik pelan:

“Apa yang harus aku lakukan dengan kucing ini?”

Dilihat dari sikapnya yang seenaknya ini, mungkin dia bukan kucing kampung biasa.

Tapi kalau aku merawatnya, Komekko tidak bisa menjadikannya sarapan. Di rumah ini juga tidak ada makanan sisa yang bisa diberikan untuk makan kucing ini.

Dan kalau aku melepasnya lalu Komekko menangkapnya kembali, kucing ini pasti akan menjadi santapan Komekko… Kalau begitu—

—————————————

BAGIAN KESEPULUH

—Suasana kelas sangat gaduh.

“…Megumin… …Megumin…”

“Pagi, Yunyun. Kenapa ekspresimu seperti itu?”

Ekspresi Yunyun nampak gugup, meski begitu ia tetap membalas salamku.

“…Apa itu?”

“Familiarku.”

Yunyun menanyakan soal kucing hitam yang sedang berbaring terlentang di atas meja sambil bermain-main dengan jariku. Aku memperkenalkan kucing itu pada semua teman sekelasku.

“Dia adalah familiarku.”

“Familiar!? Aku kira cuma penyihir yang ada di cerita saja yang punya familiar!”

“Lihat wajahnya yang manis dan tidak kenal takut itu! Kucing ini benar-benar mengerikan. Dia pasti hanya berpura-pura bersikap manis, mengincar kotak bekal kita supaya dia bisa memberikannya pada tuannya, Megumin!”

“Aku iri banget! Tapi, nih makanan untukmu!”

Teman-temanku terpikat oleh karisma familiarku.

Mungkin kucing ini benar-benar memiliki kekuatan untuk memperdaya orang lain.

Sepertinya dia bisa mendapatkan makanannya sendiri di sini, aku jadi lega.

“U-uwaahh! Lembut sekali…! Megumin, namanya siapa? Apa kamu sudah memberinya nama?”

Mata Yunyun bersinar terang, dia mungkin ingin menyentuh kucing ini. Tapi, saat Yunyun mendekatkan tangannya, kucing itu langsung mengangkat kaki depannya dengan kesal.

Setelah ditolak oleh kucing itu, Yunyun menarik kembali tangannya dengan penuh rasa kesepian.

“Kenapa sih kucing ini? Sepertinya dia tidak terlalu bersahabat selain pada Megumin.”

Saat Arue mengatakan hal itu, kucing itu menerima jari-jemari Arue, menikmati elusannya dengan mata yang setengah terbuka. Melihat hal ini, Yunyun merasa ingin menangis.

“Kucing ini masih belum punya nama. Kalau aku meninggalkannya di rumahku, nyawanya bisa terancam, makanya aku ingin membawanya ke sekolah setiap hari.”

Setelah mendengar ucapanku, wajah teman-teman sekelasku nampak khawatir.

“Kucingnya imut sih, jadi aku tentu tidak keberatan, tapi bagaimana dengan pak guru…”

“Iya, meski kucing ini imut sekali, pak guru kemungkinan tidak akan mengizinkanmu membawanya ke sekolah. Padahal imut sekali.”

Sudah kuduga, wali kelas kami adalah penghambat terbesar…

“Tidak boleh.”

Ucap wali kelas kami saat dia masuk ke dalam kelas.

Aku mengangkat kucingku yang berusaha sekeras mungkin bersikap imut.

“Pak guru, kucing ini adalah familiar-ku. Dia membutuhkan mana dariku. Kalau kucing ini meninggalkanku, dia pasti akan mati.”

“Tidak akan. Bagaimana mungkin seseorang yang belum bisa menggunakan sihir bisa mempunyai seekor familiar? Sekolah melarang kalian membawa familiar dan camilan! Kembalikan dia ke tempat asalnya.”

Sudah kuduga, masih gagal. Kalau begitu…!

“Pak guru, kucing ini adalah diriku yang lain. Belahan diriku yang juga memegang kekuatanku. Meski kebanyakan kekuatannya berada padaku, kucing ini tetaplah bagian dari diriku. Kami satu pikiran dan tidak bisa dipisahkan!”

“…Sepertinya belahan dirimu itu tidak suka diangkat olehmu dan sedang berusaha mempertahankan hidupnya.”

“Soalnya aku sedang dalam masa memberontak.”

Aku menaruh kembali kucingku, lalu dia mulai mencakar dinding kelas.

“Belahan dirimu sedang termakan oleh instingnya dan sedang menajamkan cakarnya.”

“Klan Iblis Merah harus selalu siap untuk bertarung, sehingga wajar bila ia harus menajamkan cakarnya. Karena hampir seluruh kepintaran serta pemikirannya berada dalam diriku, belahan diriku ini hanya memiliki kekuatan, insting, serta wujudnya yang bagai binatang.”

“Ok deh.”

“Pada awalnya, dia nampak seperti diriku yang imut, tapi di dalam dirinya… Bapak mengizinkannya?”

Wali kelas kami tiba-tiba saja mengizinkan kucingku berada di sekolah tanpa banyak masalah… pada awalnya, aku masih berencana untuk menjelaskan bagaimana diriku dan belahan diriku ini sedang berada dalam konflik untuk memperebutkan tubuh ini.

“Kelihatannya menarik, jadi bapak biarkan saja.”

Wali kelas kami dikenal senang melihat masalah-masalah aneh, tapi perkataannya barusan membuatku merasa tidak enak.

“Hei, Megumin! Kalau kamu mau buang air di tempat yang benar dong! Nih, di sini! Kamu cuma boleh buang air di sini! Bagus! Megumin pintar yah!”

“……”

“Bukannya bakalan bau kalau meninggalkan sisa makanan Megumin di sini? Sebaiknya kita buang ke belakang saja.”

“……”

“Ah, dasar Megumin! Jangan seenaknya menajamkan cakarmu! Jangan menunjukkan wajah yang imut seperti itu sambil memiringkan kepalamu! Tidak… ahh, Megumin imut banget sih!”

“AAAAHHHHHHHHHH!”

“Gawat! Megumin Palsu mulai menggila! Sepertinya bukan hanya keimutannya, kepintaran juga pemikirannya sudah berpindah pada belahan dirinya!”

Teriak teman sekelasku yang memanggilku “Megumin Palsu”, setelah melihatku membanting mejaku.

“Siapa yang kamu sebut palsu? Aku Megumin yang asli! Berhenti memanggil kucing itu Megumin!”

“Kamu kenapa sih, Megumin? Kamu sendiri yang bilang kalau Megumin yang ini itu belahan dirimu ‘kan? Yang itu adalah Megumin yang memiliki pemikiran serta kepintaran, sementara Megumin yang ini memiliki kekuatan dan insting, begitu ‘kan?”

“Megumin ini, Megumin itu —kalian semua memanggil namaku di sana-sini, aku sudah tidak tahan lagi! Cepat berikan nama untuk kucing ini!”

Melihat ekspresi marahku, Yunyun memeluk diriku yang lain.

“Meski kamu berkata seperti itu, sudah ditentukan kalau ‘ini adalah Megumin yang asli’ …Lihat, kucing ini mulai mau menerimaku. Sekarang aku bisa memeluk Megumin! …Daripada memberi nama kucing ini, bagaimana kalau mengganti nama Megumin saja? Aww, aww!”

“Pengkhianat! Kamu tidak peduli kalau rivalmu mengubah namanya! Hari ini nama ‘Megumin’ sudah disebut lebih banyak dibandingkan dengan seluruh masa sekolahku!”

Mendengar kekesalanku, teman sekelasku menunjukan wajah tidak enak hati.

“Ah… Megumin yang imut dihina sama Megumin yang tidak imut…”

“Hei, ngajak ribut!?”

Sebagai anggota Klan Iblis Merah yang tidak pernah mundur dalam pertarungan, aku mengangkat kursiku, siap melemparnya pada teman sekelasku.

“…Norisuke.”

Arue membisikkan kata demi kata, memikirkan nama lain untuk kucing ini.

“…Perekichi.”

Murid lain berbisik.

“Choisa”, “Marumo”, “Kasuma”.

Tapi sepertinya semua nama itu kurang cocok. Kucing yang masih berada dalam pangkuan Yunyun itu membuat suara dengan hidungnya, seperti baru saja bersin.

Mendengar berbagai macam nama, Yunyun mengangkat kucing itu.

“Kucing ini betina…”

“…’Tuh ‘kan, nama yang paling cocok memang Megumin.”

“Gue bunuh lu!”

Saat aku sudah mau menghajar teman sekelasku, Yunyun tiba-tiba saja berteriak.

“Kuro! Kuro! …Bagaimana? Soalnya, ini ‘kan kucing hitam…” *Kuro berarti hitam dalam Bahasa Jepang

“……” x2

Semua orang terdiam.

“Tidak apa deh. Lebih mudah mengingat nama yang aneh.”

“Eh!? A-aneh…!?”

…Ya, nama yang benar-benar aneh, tapi mungkin lebih mudah mengingat namanya kalau seperti itu.

Setelah memberikannya nama, kucing yang ada di pangkuan Yunyun itu memicikkan matanya, nampak senang.

“Kalau begitu, kucing ini untuk sementara akan memakai nama aneh ‘Kuro’. Saat dia sudah benar-benar menjadi familiarku, aku akan memikirkan matang-matang nama yang hebat untuknya.”

“Aneh? Hei, rupanya aku ini memang aneh yah!? Di desa ini, yang aneh itu aku!?”

Yunyun mengeluh sambil menangis, sementara aku memeluk Kuro.

——————————-

BAGIAN KESEBELAS

“Hei, Megumin. Hari ini mau belanja di toko aksesoris tidak?”

Saat kami sedang dalam perjalanan pulang…

Yunyun bilang kalau dia hanya akan dekat denganku saat kemarin saja, tapi entah kenapa hari ini pun dia masih mengikutiku.

Tapi, aku sendiri tidak pernah menganggapnya sebagai rivalku sih, jadi tidak apa-apa.

“Memangnya ada toko aksesoris di desa ini?”

“Pandai besi di desa ini kadang membuat aksesoris. Jadi, Megumin…”

“Melihat-lihat aksesoris imut dengan seseorang saat kamu pulang dari sekolah adalah impianmu ‘kan? Baiklah, ayo kita pergi.”

Yunyun dan aku pun pergi ke toko pandai besi.

“Selamat datang! Oh, rupanya anak aneh dari keluarga kepala klan dan putri anehnya si Hyoizaburo. Mau beli sesuatu? Gadis kecil seperti kalian sih… Bagaimana kalau pedang besar ini? Kapak dan palu juga ada.”

“Ga-gadis aneh…”

“Kenapa bapak mau memberi senjata besar seperti itu pada gadis rapuh seperti kami? Lagipula, kami tidak perlu menggunakan senjata untuk bertarung.”

Selain itu, sudah cukup aneh kalau ada seseorang yang menjual senjata dan baju besi di desa penyihir.

Membuat tongkat sihir jauh lebih cocok…

“Tidak ada salahnya kalau seorang gadis kecil mengayun-ayunkan senjata besar. Perbedaannya itu yang membuat imut.”

“Di dunia macam apa ada gadis yang seperti itu… Yunyun, gimana nih?”

Yunyun sendiri sedang melihat-lihat barang-barang di dalam toko.

“Umm, aku dengar kalau di sini menjual aksesoris…”

“Aksesoris ada di sana. Klan Iblis Merah cuma suka senjata yang sangat panjang dan berbentuk aneh seperti pedang. Jadinya, benda seperti itu tidak terlalu banyak diminati.”

Pandai besi bertubuh besar itu menunjuk ke salah satu pojok toko dengan dagunya.

Hm… yang seperti ini sebaiknya disebut aksesoris atau pisau kecil…

“Biasanya, kalau yang namanya aksesoris itu benda kecil yang bisa dipakai, bukan senjata kecil.”

“Mau dibilang begitu juga… Karena aku tidak punya pelanggan seperti itu, aku bisa bangkrut kalau harus menjual barang seperti itu.”

Lagipula, bagaimana pandai besi ini membuat keuntungan?

“Dari ekspresimu itu, sepertinya kau bingung bagaimana aku bisa mendapatkan uang. Soalnya, aku ini tetap saja seorang Arch Wizard yang bisa menggunakan mana yang besar untuk mengendalikan tungku api yang tidak bisa digunakan oleh orang biasa untuk menciptakan baju besi berkualitas tinggi. Di antara para pecinta baju besi, barang buatanku ini cukup populer. Meski aku tidak bisa menyebutkan namanya, ada seorang putri keluarga bangsawan yang suka memakai baju besi buatanku.”

“Untuk apa juga putri bangsawan memakai baju besi? Yunyun, sudah hampir waktunya…”

Yunyun dengan hati-hati memilih sebuah belati perak lalu memandang ke arahku.

“…Kamu suka yang itu?”

Yunyun langsung mengangguk.

Setelah pulang ke rumah, jubah Komekko kotor oleh lumpur, seperti biasa.

“Selamat pulang, Kak! Kakak bawa sesuatu untuk dimakan?”

“Hari ini tidak ada. Ngomong-ngomong, kamu pergi bermain kemana? Belakangan ini, segel dewa jahat yang ada di desa sudah hampir terlepas, jadi jangan suka keluar rumah.”

Aku tidak tahu apakah kata-kataku masuk ke kuping Komekko. Dia terus menatap Kuro yang ada di pangkuanku.

“…glek.”

“!”

Merasa takut akan Komekko, Kuro langsung naik melewati pundakku, berusaha bersembunyi di dalam topiku.

Tidak kusangka dia akan menaiki tubuh pemiliknya sendiri. Benar-benar kucing yang lancang.

“Kak, malam ini kita makan daging!”

Aku langsung bergetar mendengar ucapan adikku yang menganggap hewan peliharaan dan serangga sebagai makanan.

“Dengar yah, Komekko. Kucing ini masih terlalu kurus. Dagingnya masih terlalu sedikit. Biarkan dia tumbuh lebih besar lagi sebelum kita memakannya.”

“Begitu yah. Kakak pintar yah!”

Komekko tersenyum riang. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan di luar rumah sampai-sampai dia menjadi anak yang seperti ini. Aku menggunakan sapu tanganku untuk mengelap lumpur di wajahnya.

“Komekko, kamu habis main di luar lagi yah?”

“Aku menemukan mainan, nanti kita main sama-sama yah, Kak! Kakak juga mau ikut main tidak?”

Mainan… mainan?

Entah kenapa, kata-kata itu tidak membuatku merasa lega. Atau lebih tepatnya, membuatku tidak enak.

Ya. Mungkin, aku juga…

“Kak, mandi! Kucingnya juga ikut mandi yah. Kalau tidak salah ini supaya dagingnya tidak alot.”

“Komekko, kucingnya jadi gemetar di dalam topiku, jadi jangan bicara lagi.”

—————————

BAGIAN KEDUA BELAS

Setelah aku mandi bersama Komekko dan Kuro, kami memakan makan malam yang sederhana, setelah itu aku masuk ke dalam kamarmu.

Aku mendengar suara dari tangga, sepertinya ibu sudah pulang.

Ayah pasti masih membuat item sihir tanpa kenal lelah.

Aku membaringkan tubuhku di atas selimut wol sambil menaruh Kuro di atas perutku.

Aku kemudian teringat.

“Ngomong-ngomong soal mainan, saat aku bertemu dengannya, aku meminta dia untuk membantuku mencari mainanku.”

Aku bergumam pada diriku sendiri di dalam kamar yang gelap ini, mengangkat Kuro di hadapanku dan menatap matanya.

Dalam kegelapan ini, Kuro sepertinya mengerti apa yang aku katakan, dia menatapku tanpa sekalipun berkedip.

Mata yang nampak tidak kenal takut, besar, bundar, dan imut.

…Kenapa?

Setiap kali aku memperhatikan kucing ini aku jadi memikirkan orang itu.

Aku menutupi wajahku dengan selimut. Kucing itu juga ikut masuk ke dalam selimut.

“Kamu itu seenaknya sekali yah, padahal cuma numpang di sini.”

Di balik selimutku, aku menikmati rasanya mengelus-elus Kuro yang melingkarkan tubuhnya di atas perutku.

Saat itu, aku masih belum berpikir kalau aku akan meninggalkan desa selama beberapa saat—

Menghabiskan waktuku bersekolah dan mengurus adikku, kehidupan yang ‘tak pernah berubah—

—————————

SELINGAN – SEBUAH AWAL

—Puzzle Potongan Gambar yang tidak bisa Dipecahkan dan Segel Dewa Jahat—

Aku tiba di tempat bermain yang biasa aku datangi.

Dan yang sedang duduk jongkok di atas nisan adalah…

“Goblin-nya besar sekali!”

“…Woi, bocah, jangan bandingkan aku dengan goblin.”

“Aku bukan bocah. Aku Komekko.”

“Oh gitu? …Hei, Komekko, apa yang sedang kau lakukan di sini? Ini adalah makam di mana diri lain sang Dewa Jahat, nona Wolbach, tersegel. Apa keluargamu tidak memberitahumu untuk menjauhi tempat ini?”

“Sudah sih, tapi kakak bilang kalau anggota Klan Iblis Merah tidak boleh menuruti permintaan yang tidak jelas asal-muasalnya.”

“…Be-begitu yah? Menyusahkan sekali, rupanya aku harus menghabisi bocah kecil seperti ini…”

Dengan mengeluarkan sepasang sayap kelelawar yang besar dan hitam, makhluk yang bukan goblin itu menurunkan pundaknya, merasa kecewa.

“Aku bukan bocah, aku Komekko. Makhluk yang bukan goblin, kamu sedang apa di sini?”

“Makhluk yang bukan goblin… Hei, bocah, lihat baik-baik! Aku punya tanduk yang besar dan sayap yang melambangkan kejahatan! Selain itu, goblin tidak punya tubuh yang berotot seperti ini! Aku adalah bawahan nona Wolbach. Iblis agung, Hoost yang agung. Ingat itu baik-baik!”

“KEREN!”

Melihat Hoost yang melebarkan sayapnya, aku langsung berteriak sambil mengangkat kedua tanganku.

“O-oohh, menurutmu keren yah… Seleramu lumayan juga. Biasanya, aku harus menutup mulut siapa saja yang melihat keberadaanku, tapi aku akan membiarkanmu pergi. Tapi, jangan beritahu siapapun soal keberadaanku. Semua yang terjadi di sini harus kau rahasiakan. Ini adalah perlakukan khusus dariku, jadi sebaiknya kau berterima kasih!”

“Terima kasih banyak.”

Meski aku tidak mengerti apa yang terjadi, aku berterima kasih padanya saja. Aku duduk di depan Hoost, lalu menampari kakinya yang besar dan keras. “Pat! Pat! Pat!”

“Bocah yang aneh… Tidak apalah, aku sendiri punya urusan penting. Jangan ganggu aku, mengerti?”

Hoost membalikkan wajahnya lalu mengutak-atik sesuatu yang ada di depan nisan… Ah!

“Itu ‘kan puzzle-ku!”

“Eh? Ini bukan milikmu. Ini adalah alat berharga yang bisa menghancurkan segel yang mengekang nona Wolbach…. Hei, hei, hei, kau…!”

Aku menaruh puzzle itu pada tempatnya. Hoost langsung terkejut.

“Kau hebat juga! Sembari bersembunyi dari para penduduk desa, aku tetap saja tidak bisa memecahkan puzzle ini selama berbulan-bulan… Ok, sekarang aku tahu apa yang harus aku lakukan! Hei, berikan puzzle-nya padaku!”

“Ahh, Hoost merebut puzzle-ku!”

“Hehe, aku tidak peduli kau mau bicara apa. Selain itu, jangan seenaknya memanggil namaku, bocah kerdil. Panggil aku Hoost yang agung! Nah, dengan begini nona Wolbach akan bisa memulihkan seluruh kekuatannya. Setelah itu, dia bisa kembali mengamuk seperti dulu… Ehh, lho kok, aneh…”

Setelah merebut potongan puzzle-nya, Hoost mencoba menaruhnya pada sebuah alas yang ada di depan nisan, tapi terus dan terus saja gagal. Akhirnya, dia menurunkan pundaknya, merasa kecewa, lalu menatap ke arahku.

“…Hei, Komekko, aku akan membuat pengecualian khusus, jadi kau boleh bermain dengan puzzle ini. Lanjut bermain sana.”

“Aku lapar, aku gak mau main puzzle sekarang. Hoost yang agung, kamu boleh bermain puzzle itu.”

“……Meski aku merasa malu mengatakan ini, tapi sebaiknya kau berhenti memanggilku Hoost yang agung. Aku akan mencarikan makanan untukmu, sebagai gantinya kau membantuku memecahkan puzzle ini, Komekko.”

“……”

“……Kumohon, Komekko.”

“Baiklah.”

Setelah mendengar jawabanku, Hoost dengan enggannya mengepakkan sayapnya lalu pergi entah kemana.

Aku melihat dia terbang pergi, lalu memungut potongan puzzle-nya lagi—

Tinggalkan komentar